MENUJU BANGSA BERMARTABAT

By: Miftahul Ulum*

Wacana menuju bangsa bermartabat bukanlah hal yang baru dalam percaturan bangsa ini dan selalu mendapatkan ruang untuk dibahas, yang membahaspun multilevel kalangan. Mulai dari kalangan orang yang biasa- biasa saja, orang biasa, orang yang kebiasaan, intelektual khusus, sampai pemerintah sendiri.
Pada tanggal 25 Januari 2008, Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato yang berjudul “Menuju Bangsa Indonesia Mandiri dan Bermartabat di Tengah Tuntutan Globalisasi” pada acara ulang tahun CIDES (Center for Information and Development Studies). Dalam pidatonya itu, SBY menyebutkan sepuluh kriteria untuk menjadi bangsa yang bermartabat/ terhormat. Pertama, bangsa yang bermartabat dapat diukur dari taraf hidup yang layak, bebas dari kemiskinan yang ekstrim. Kedua, dilihat dari kehidupan yang aman dan tertib, jauh dari kejahatan dan gangguan keamanan. Ketiga, apabila demokrasi dan kebebasan belum ada, terpasung tidak bisa mengekspresikan pikiran-pikiran kita, tentu kita belum bisa menjadi bangsa yang terhormat. Keempat, ekonomi yang sustainable dan tidak terjerat oleh hutang yang tinggi, yang di luar kemampuan bangsa itu, termasuk generasi berikutnya untuk melunasinya. Kelima, bisa juga diukur martabat dan kehormatan ini adalah pemerintah yang baik, good governance, celean government, terbebas dari korupsi yang kronis. Keenam, pemeliharaan lingkungan yang baik untuk kepentingan bangsa di masa depan, untuk planet kita, bumi kita juga menjadi ukuran kehormatan sebuah bangsa. Ketujuh, pendididikan yang maju, termasuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Makin cerdas bangsa itu, makin maju teknologinya, makin terhormat di mata bangsa- bangsa yang lain. Kedelepan, kesehatan yang layak. Kesembilan, ini saya kira Saudara boleh setuju atau tidak, tapi saya ingin negara kita maju dibidang olah raga memiliki citra, image yang baik secara internasional. Kesepuluh, kita mesti memiliki peran internasional yang baik, yang aktif, yang diakui, yang konstruktif, baik di tingkat perserikatan bangsa- bangsa maupun ketika kita berperan di banyak persoalan di seluruh dunia (www.cidesonline.org, 2008).
Secara teoritis, sepuluh sektor yang digagas SBY itu, menurut hemat penulis sudah cukup untuk sekedar merepresentasikan sebuah bangsa ideal sehingga pantas menyandang predikat bermartabat. Namun demikian, hal itu juga membuktikan bahwa bangsa Indonesia sekarang, nanti, dan seterusnya tidak hanya membutuhkan konsep teoritis-retoris, melainkan sebuah kerja nyata berdasarkan keberanian hati nurani. Berani untuk tidak melindungi pejabat atau orang “besar” yang salah, berani untuk tidak melindungi oknum yang telah jelas- jelas menggerogoti negara dalam arti luas, berani untuk tidak menjadi bangsa yang bermental inlander, serta berani untuk menempuh jalan terjal menuju kehormatan bangsa itu sendiri. Jika saja setiap elemen bangsa ini mempunyai komitmen kolektif untuk melihat persoalan- persoalan krusial-aktual kebangsaan, maka sudah pasti akan menadapati bangsa tercinta ini sedang berada dalam ambang kenistaan, bukan dalam koridor kehormatan!
Sebagai salah satu bukti bahwa bangsa ini sedang berada dalam koridor kenistaan adalah data pemerintah sendiri yang menyatakan bahwa 16,58 persen atau sekitar 37,2 juta orang Indonesia hidup dalam garis kemiskinan. Bahkan, menurut perkiraan Pusat Penelitian Ekonomi LIPI angka kemiskinan itu masih akan membengkak menjadi 21,92 persen atau sekitar 41,7 juta orang pasca kenaikan harga BBM (Jawa Pos, 17- 06- 2008). Selintas, kebijakan pemerintah ini justru tidak sesuai dengan konsep ideal yang digagas sendiri, yaitu untuk menyetarakan taraf hidup yang layak agar bebas dari kemiskinan. Apalagi, fenomena kenaikan harga BBM ini justru merembes pada ranah kenyamanan kehidupan bersama akibat aksi penolakan mahasiswa di berbagai wilayah yang tak jarang berujung bentrokan dengan aparat, penutupan jalan umum, dan lain sebagainya. Itu pun, hanya di satu sector saja. Belum lagi, di sektor lain yang tak kalah ironisnya.
Dalam sektor keamanan dan pertahanan, Indonesia masih belum mampu menunjukkan kapabilatasnya sebagai bangsa yang bermartabat. Terlalu banyak kasus yang tak tertangani dengan baik. Dengan sangat terpaksa, kita harus rela mempersembahkan ambalat kepada Malaysia. Setiap hari, sekian ton ikan di perairan Indonesia menjadi makanan empuk kapal penjarah asing. Dalam sektor kemandirian ekonomi, kita bisa sedikit berbangga karena ketergantungan kepada IMF akan segera berakhir. Tetapi, kekalahan dan ketergantungan kita pada korporat asing tampaknya masih tetap menjadi fenomena yang semakin menjatuhkan martabat bangsa ini. Dan masih banyak lagi seabrek problema bangsa yang menuntut karya nyata, bukan hanya teoritis-retoris.
Oleh karena itu, penulis menjadi tidak tertarik lagi untuk mengulas secara rigid-teoritis problem- problem itu. Mengapa? Selain karena problemnya terlalu komleks dan sudah banyak elemen bangsa yang membahasnya, sejatinya yang paling subatansial adalah aksi dan kerja nyata. Dengan demikian, dari pada hanya sibuk membahasnya ansich, lebih baik kita mulai menyumbangkan karya nyata yang lebih substansial sesuai dengan kapasitas kita masing- masing demi bangsa Indonesia yang lebih bernartabat.

*Kabid keilmuan Komisariat Al-khawarizmi FT Unijoyo














0 Komentar